Semenjak terakhir meletus tahun 1963, Gunung Agung yang juga dikenal sebagai Gunung Tohlangkir di masa lampau itu sudah 54 tahun beristirahat. Dalam 54 tahun, sudah banyak hal terjadi di Bali. Wajah Bali sudah begitu banyak berubah, dihias oleh modernitas dan globalisasi, yang tak jarang membuat Bali seolah kehilangan sebagian besar keelokannya. Semenjak pertama berkontak dengan dunia Barat, Bali telah menerima begitu banyak pujian, diantaranya disebut Pulau Sorga dan Pulau Seribu Pura. Karakter orang Bali demikian disanjung-sanjung penuh keramahan dan kepolosan, nilai-nilai hidup yang menyentuh dan karay-karya yang memancarkan taksu membuat Bali semakin lama sekain terkenal ke seantero dunia. Namun, selama 54 tahun itu, rupanya Bali sebagaimana dideskripsikan dulu sudah banyak berubah; wajah pulaunya, maupun karakter manusianya.
Banyak keindahan yang ditulis oleh Miguel Covarrubias dalam Buku yang diterbitkannya tahun 1937, The Island of Bali sudah tidak lagi nampak, padahal semua pesona yang ditulis Covarrubias merupakan daya tarik yang mendatangkan wisatawan dari seluruh dunia untuk mengunjungi Bali.
Apakah Mpu Kuturan Sudah Dilupakan?
Karakteristik, cara hidup dan nilai-nilai yang dipegang orang Bali adalah warisan dari leluhur turun-temurun, warisan kebijakan yang menata pulau kecil ini hingga disebut “Surga Terakhir”. Namun, yang belakangan kita lihat adalah wajah modern yang diwarnai kemacetan, sampah menggunung bukan hanya di tepian jalan bahkan pula di Pura-Pura yang seharusnya disucikan, hamparan hijau yang menyejukkan karena ditanami padi dan pepohonan yang senantiasa ingat diupacarai sudah berganti menjadi beton dan ruko. Pulau Seribu Pura ini seolah sudah berganti nama menjadi “Pulau Seribu Ruko”, “Pulau Seribu Hotel” dan “Pulau Seribu Villa”. Bahkan, seolah tanah Bali sudah tidak cukup lagi menampung kebutuhan manusianya, lautan pun hendak diurug melalui Reklamasi Teluk Benoa. Keindahan Surga yang demikian menawan seolah semakin menguap dan hanya tersisa di brosur dan selebaran promosi pariwisata.
Di titik ini, Bali mungkin telah banyak melupakan warisan ajaran yang demikian Indah, ajaran yang diwariskan oleh Mpu Kuturan semenjak kurang lebih seribu tahun yang lalu, yaitu Tri Hita karana. Filsafat Tri Hita Karana atau Tiga Sebab Kebahagiaan sudah demikian demikian mendarah daging dalam kehidupan manusia Bali, dalam setiap ritual keagamaan dan berbagai ekspresi kebudayaanya. Namun sayang, pengaktualisasiannya dalam kehidupan sehari-hari masih perlu dibenahi. Tri Hita Karana terdiri dari Parhyangan (hubungan harmonis dengan para Hyang), Pawongan (hubungan harmonis dengan sesama manusia) dan Palemahan (hubungan harmonis dengan alam).
Mari kita merenung sejenak, apakah Parhyangan sudah benar-benar berdasar sastra dan prinsip leluhur, atau malah telah mengalami banyak salah kaprah? Apakah sesama manusia Bali sudah teraktualisasikan konsep menyama braya saat Desa Pakraman sudah kalah oleh Komplek Perumahan? Apakah Palemahan sudah dilupakan sampai laut pun hendak diurug demi industri?
Mohon maaf, namun sepertinya penataan alam dan kehidupan ala Mpu Kuturan sudah banyak terlupakan oleh penerus Pulau Dewata ini. Tentu, sebagai manusia biasa kita tidak akan bisa lepas dari pengaruh Sanghyang Kala, Sang Waktu yang menuntut manusia untuk senantiasa berubah. Tetapi, di jaman yang serba berubah, sudah seharusnya ada satu yang tetap kokoh, yaitu prinsip. Kita seperti berlayar di lautan, kita memang tidak bisa menentukan arah angin (baca: jaman), sehingga berkali-kali layar memang harus disesuaikan. Namun, satu hal yang tidak berubah adalah tujuan pelayaran tersebut.
Saat Gunung Agung Mengingatkan
Setelah 54 tahun beryoga, beberapa hari belakangan rupanya Hyang Tohlangkir bergejolak lagi. Sejak status Gunung Agung meningkat dari Level III (siaga) menjadi Level IV (awas) pada Jumat (22/9/2017) malam pukul 20.30 Wita, warga Karangasem di sekitaran Gunung Agung sudah diungsikan ke berbagai titik. Ribuan warga meninggalkan rumahnya karena sewaktu-waktu Sanghyang Tohlangkir bisa meletuskan lahar dan bebatuan yang tahun 1963 silam menelan ribuan korban.
Hanya berselang sehari setelah warga mulai mengungsi, jagad sosial media heboh, bukan sebatas oleh doa-doa hampa, namun oleh aksi nyata; seolah tanpa berpikir panjang banyak warga yang menawarkan rumah dan fasilitas yang dimilikinya untuk menjadi rumah singgah saudaranya dari Karangasem, menawarkan tempat berlindung dan beristirahat dan menjadikannya bagian dari keluarga. Dengan tidak kalah cepat, berbagai Desa rupanya sudah bertindak tanggap membersihkan Balai Banjar masing-masing untuk dijadikan tempat peristirahatan. Melihat banyak warga pedesaan yang merelakan ternaknya dijual murah karena tidak bisa dibawa mengungsi, banyak pula warga yang menawarkan lahan yang dimilikinya untuk menampung ternak. Mereka yang mungkin tidak memiliki lahan tidak hanya diam, ada yang menawarkan mobil, ada yang menawarkan truck pengangkut ternak, ada yang langsung terjun mengulurkan tangan.
Gejolak ini bukan hanya terjadi di Karangasem, namun menyebar sampai Klungkung, Bangli, Gianyar, Denpasar, Badung sampai Denbukit, Buleleng. Gemuruh Sanghyang Tohlangkir bukan hanya menggetarkan tanah, namun menggetarkan nurani seluruh putra-putri Bali dalam semangat menyama braya, dalam semangat kekeluargaan.
Setelah banyak warga Karangasem berada di tempat “pengungsian”, mereka tidak perlu kawatir apakah pemerintah akan cepat tanggap, sebab di lampu merah sudah berkumpul pemuda-pemudi Seka Teruna untuk mengumpulkan donasi bagi nyama braya-nya yang sedang kena musibah. Tidak kalah pula berbagai individu, komunitas dan kelompok-kelompok bergerak kompak untuk memberikan membantuan. Bahkan tidak kalah pula, para penyelamat satwa langsung bergerak menunjukkan kepeduliannya pada anjing-anjing Bali yang terpaksa ditinggal empunya.
Tidak sulit dijumpai di tempat lain, saat ada bencana yang sedang melanda, sosial media dipenuhi oleh hujatan terhadap pemerintah atau doa-doa yang hanya haus like dan share semata. Rupanya tidak demikian halnya di Bali, gaduhnya bencan Bali oleh getaran Sanghyang Giri Tohlangkir bukan membuat manusia Bali memuntahkan hujatan, namun menggerakkan pada tindakan nyata. Saat pemerintah sedang saling berkoordinasi untuk menata langkah agar sesuai birokrasi, nyama Bali sudah bergerak saling mengulurkan tangan dengan semangat persaudaraan yang ternyata masih belum terlupakan, yang ternyata terkuak kembali setelah Sanghyang Giri Tohlangkir bergetar.
Bencana memang memiliki banyak wajah, dan di Bali kini kita bisa menjumpai salah satu wajah yang telah lama tertutup kembali menunjukkan pesonanya. Ajaran Mpu Kuturan berupa Tri Hita Karana dengan salah satu implementasinya menyama braya ternyata masih kental dalam semangat hidup orang Bali, meski di jaman globalisasi seperti sekarang.